Dongeng dan Cerita Pendek Anak Dari Seluruh Dunia Seperti Indonesia, Rusia, Amerika, Cina, Inggris, dan lain-lain

Thursday, April 14, 2016

Sang Tampe Ruma Sani - Dongeng Indonesia

Courtesy of canvas.pantone.com
dongeng anak dunia - Tersebutlah pada zaman dahulu kala tentang seorang anak perempuan berparas cantik bernama Tampe Ruma Sani. Tinggal disebuah perkampungan nelayan dia penjual ikan hasil tangkapan dari sang Ayahanda yang bekerja sebagai nelayan penangkap ikan.

Semua orang kampung nelayan mengenalnya karena dialah satu-satunya anak perempuan kecil yang sudah bekerja membantu orang tuanya menjual ikan-ikan, juga anak perempuan mengurus adik lelakinya yang masih kecil.

Bocah perempuan kecil ini telah punya tanggung jawab mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti menyediakan makanan untuk sang Ayah dan adik lelakinya, tetapi itu semua dia kerjakan dengan setulus hati dan penuh kesabaran.

Sang Ibunda yang seharusnya mengurus pekerjaan rumah tangga telah tiada meninggalkan dunia ini, secara otomatis tanggung jawab itu semua ada ditangan sang bocah perempuan Tampe Ruma Sani karena anak paling tua dikeluarga tersebut.

Pada suatu hari dikala dia sedang berjalan pulang usai berjualan, "Cepat sekali habisnya ikan yang engkau jual Anak manis! apakah engkau menjual dengan harga sangat murah?" tanya seorang perempuan dewasa.

"Benar sekali, saya menjual dengan harga yang cukup murah, biar lekas habis sebab saya harus mengurus adik saya yang masih kecil, juga saya harus memasak nasi untuk makan kami bertiga," jawab bocah perempuan Tampe Ruma Sani.

"Oh! ternyata engkau punya adik kecil juga, siapakah namanya?" bertanya lagi perempuan dewasa tersebut.

"Adik lelakiku bernama Mahama Laga Ligo dia masih kecil belum bisa memasak," menjawab kembali sang bocah perempuan.

Banyak sudah pertanyaan yang ditanyakan perempuan dewasa itu kepada Tampe Ruma Sani, sepertinya dia ingin mengetahui semua rahasia keluarganya, tetapi bocah perempuan yang masih lugu ini menjawab saja semua pertanyaannya.

"Aku seoarang janda yang tidak mempunyai anak keturunan! tolong sampaikan salamku kepada bapakmu, aku pun siap membantu pekerjaan yang ada di rumahmu, serta membuatkan tembe(sarung), sambolo(destar) dan ro Sarowa(celana) untuk bapakmu, nak," sang janda tersenyum sangat manis untuk mengambil hati sang bocah perempuan Tampe Ruma Sani.

"Baiklah nanti saya sampaikan salam dari Ibu untuk ayahku," sang bocah berlalu dengan langkah kaki cepat, dia sudah terlalu lama berbincang-bincang bersama sang ibu tersebut.

Hari pun berlalu dengan sangat cepat, sang janda yang dulu bertemu dengan Tampe Ruma Sani resmi sudah menikah dengan Ayahnya dan tinggal serumah, diapun kini telah menjadi sang Ibu tirinya.

Sejak saat itu seluruh pekerjaan rumahnya telah diambil alih sang Ibu tirinya, dia hanyalah menjajakan ikan-ikan hasil tangkapan sang Ayahanda.

Namun karena dasarnya sang bocah perempuan ini anak yang rajin dan baik hati, dia tetap saja mau membantu pekerjaan Ibu tirinya ketika menumbuk padi dan Ibu tirinya selalu berpesan agar beras yang masih utuh harus dipisahkan dengan beras kecil yang sudah hancur (menir).

Awal kehidupan semenjak kehadiran sang Ibu tirinya sangatlah bahagia sekali, dia sangat sayang sekali kepadanya dan kepada sang adik lelakinya.

Tetapi setelah beberapa lama waktu berselang, semua sikap sang Ibu tirinya mulai berubah, dia akan marah-marah kalau saja tidak menurut apa yang menjadi kehendaknya.

Sikap tidak baiknya atau jahat akan muncul tatkala sang Ayah pergi melaut menangkap ikan, sang Ibu tirinya akan bersikap sangat kejam terhadap kedua kakak beradik Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo, kasihan sekali mereka berdua.

Sang Ibu tiri yang jahat sedang sibuk menyiapkan makanan yang sangat lezat-lezat tatkala sang suaminya pulang melaut, namun makanan untuk anak tirinya, dia hanya memasakkan beras menir saja.

Tampe Ruma Sani pun mengadu kepada Ayahnya tentang perlakuan Ibu tirinya, "Ayah! mungkin ayah bisa melihat sendiri makanan yang aku makan dan adikku makan, bukan makanan yang enak-enak seperti yang Ayah makan dan Ibu makan sekarang!" serunya.

Tentu saja sang Ayah bertanya kepada istrinya, "Ibu! mengapa Ibu menyediakan makanan yang berbeda untuk anakku?" tanyanya.

"Oh tentu saja tidak, Pak! lihatlah sisa makan yang terdapat dalam piring bekas makan Mahama Laga Ligo," sang istri menjawab dengan sewotnya, hatinya sangat marah terhadap Tampe Ruma Sani.

Namun sebenarnya piring yang berisi bekas makanan tersebut adalah piring bekas makanannya sendiri tatkala tadi dia masak dan mencicipi makanannya mengunakan piring tersebut, kebiasaan ini dilakukan untuk mengelabui sang suaminya.

Dan keesokkan harinya ketika sang suami pergi lagi melaut, Tampe Ruma Sani pun dihajarnya habis-habisan sampai babak belur oleh sang Ibu tirinya atas tindakkannya yang telah mengadu kepada Ayahnya yang kini telah menjadi suaminya.

"Berani-beraninya kalian melapor kepada Bapakmu!" bentaknya.

"Ingat," katanya lagi. "Sekali lagi kalian mengadu kepada Bapakmu, aku tidak segan-segan membunuh kalian berdua!" berseru dengan suara yang sangat keras sekali dan dengan ancaman yang sangat menakutkan.

Dari hari ke hari, Tempa Ruma Sani dan adiknya menjalani kehidupan dengan penuh rasa penderitan, namun tetap saja dia jalani dengan penuh kesabaran, mereka tidak lagi mendapatkan kasih sayang dari Ayahnya yang sangat sibuk dengan pekerjaannya.

Adiknya sang Mahama Laga Ligo tidak pernah luput dari perhatian kasih sayangnya, sang adik tercintanya yang ikut menderita karena kejamnya sang Ibu tiri yang tidak sayang terhadap mereka berdua.

Mereka kini telah menginjak usia dewasa dan mereka pun ingin hidup mandiri terbebas dari cengkraman sang Ibu tirinya, lalu maksudnya diutarakan kepada sang Ayah tercinta pada satu kesempatan yang sangat baik.

"Sekarang kami berdua sudah cukup dewasa, Ayah! izinkanlah saya dan kakak untuk pergi dari sini mengejar cita-cita dan pengalaman hidup diluar sana," berkata sang Mahama Laga Ligo kepada Ayahnya mewakili kakak perempuannya.

"Kalau kalian berdua pergi meninggalakan ayah, rumah ini akan menjadi sangat sepi," berkata sang Ayahnya dengan nada bicaranya yang sangat sedih.

Sang Ibu tirinya segera saja ikut bicara, "Biarkanlah mereka pergi mencari pengalaman hidup pak, mereka berdua sudah cukup dewasa untuk hidup mandiri," katanya.

"Untuk itu bapak tidak usah menghalangi niat baik mereka, izinkanlah mereka berdua pergi dari rumah ini mengejar cita-cita hidupnya," berkata lagi sang Ibu tirinya yang sudah tidak senang dengan kehadiran kedua anak tirinya tersebut.

Dengan berlinangan air mata dan doa terucap dengan sangat tulus, sang Ayah tercinta memberikan izin kepada kedua anaknya yang sangat dia sayangi, hatinya sangat berat sekali melepas kedua anaknya namun sang istri terus saja mendesaknya.

Pagi-pagi buta sekali mereka berdua telah berjalan meninggalkan desa nelayan tempat kelahiran mereka berdua, sampai dibatas desa sang Ayah mangantarnya lalu memeluk kedua anaknya dengan perasaan sangat sedih sekali dan sang Ibu tiri telah siap dengan satu kantong bekal makanan dalam bungkusan dan diserahkan kepada kedua anak tirinya.

Maka berjalanlah mereka berdua menuju masa depan kehidupan entah apa yang bakal terjadi kemudian dengan nasib badan dan takdir hidup kedua anak remaja kelak, kakak beradik yang mengadu nasib di negeri orang.

Mereka terus berjalan tidak tentu arah dan tujuan, hutan dan sungai yang sangat sepi kini jalanan yang mereka lalui sambil bercerita tentang sang Ibu tirinya yang telah tega mempengaruhi sang Ayah tercinta.

Mahama Laga ligo merasa capai sekali setelah seharian berjalan, "Kak! saya sangat lapar sekali bagaimana kalau istirahat dulu dan kita makan bekal yang diberikan Ibu," sang adik merengek manja kepada kakaknya.

Kebiasaan sang adik tercinta hanya bisa manja kepadanya, dengan segala kasih sayang antara kakak terhadap adiknya yang selalu ada untuknya bila sang adik memerlukan sesuatu, dengan semampunya sang kakak akan menolongnya.

"Baiklah adikku, mari kita cari tempat yang rindang di bawah pepohonan dan membuka bekal yang diberikan Ibu," berkata sang kakak yang selalu menyayangi adik tercintanya.

Lalu mereka pun mulai membuka bungkusan makanan yang diberikan sang Ibu tirinya, namun bau busuk kotoran seketika tercium secara tiba-tiba.

"Kita mencari tempat lain yang lebih bersih mungkin di sini tempatnya kotor dan tidak bersih," perintah sang kakak.

Mereka pun kembali duduk setelah menemukan tempat yang menurut mereka benar-benar bersih dan terlidung dari sengatan matahari siang itu, lalu sang kakak mengambil bungkusan makanan dari tangan sang adiknya.

Bau busuk kembali menyeruak dengan sangat tajamnya, ternyata bau busuk kotoran tersebut berasal dari bungkusan makanan yang dicampur dengan kotoran manusia, betapa jahatnya sang Ibu tirinya terhadap mereka berdua.

Dengan perasaan sangat sedih sekali mereka pun membuang bungkusan makanan yang sengaja dicampur kotoran manusia tersebut, hatinya sangat marah diperlakuan seperti itu oleh sang Ibu tirinya.

Dengan perut yang sangat lapar karena belum terisi sebutir nasi pun dari pagi, mereka berdua berjalan kembali berharap dapat dengan cepat sampai disuatu desa sebelum menjelang malam hari tiba.

Benar saja tidak selang beberapa lama mereka berdua dapat melihat satu rumah, namun bukan disuatu desa atau perkampungan melainkan masih di tengah hutan belantara.

Maka sampailah di depan pintu rumah tersebut dengan segera mereka mengetuk-ngetuk pintu, namun sudah selang beberapa lama tidak ada sahutan atau jawaban dari dalam rumah, "mungkinkah sang Tuan rumah sedang berpergian", membantin kedua kakak beradik ini.

Dengan rasa penasaran lalu mereka pun mengetuk kembali pintunya, tetap tidak ada sahutan dari dalam rumah lalu meraka berdua mendorongnya ternyata pintu tersebut tidak terkunci.

Mereka kini telah berada di dalam rumah ditengah hutan tersebut meraka pun berjalan memeriksa setiap sudut ruangan rumah, namun tidak bertemu dengan Tuan sang pemilik rumah.

Dan disebuah sudut ruangan rumah lainnya yang berdekatan dengan dapur, mereka menemukan tiga buah karung besar yang berisi cengkih, pala serta merica.

Serta diatas meja makan tersaji makanan yang telah tersedia semenjak mereka masuk tadi, namun mereka tidak mau menyentuh atau mengambil yang bukan hak meraka walaupun perut mereka sudah sangat lapar sekali.

"Sebaiknya kita menunggu saja ditengah rumah, menanti sang tuan rumah kembali," sang kakak berkata kepada adiknya Mahama Laga Ligo.

Mereka pun akhirnya duduk-duduk di dalam rumah, menanti Tuan pemilik rumah datang rasa capai dan lelah setelah menempuh perjalanan panjang membawa kedua kakak beradik ini tertidur dengan pulasnya bersenderkan meja-meja di ruang tengah rumah tersebut.

Dan ketika mereka terbangun, hari pun telah berganti pagi, namun sang Tuan pemilik rumah belum juga muncul, ketika melihat ke meja makan didapur makanan yang tersaji di atas meja makan masih saja utuh seperti kemarin belum ada yang menyentuhnya.

Dan yang lebih heran lagi, makanan tersebut masih terasa hangat mengepul menimbulkan serela makan kedua pemuda pemudi kakak beradik ini, karena sangat lapar keduanya akhirnya memakannya sampai habis tidak tersisa.

Dan dengan segera sang kakak membersihkan piring-piring tanah, bekas mereka makan serta perabotan tempat makan untuk dicucinya, kebiasaan yang memang selalu dilakukan tatkala dari masih kecil.

Tiga hari sudah mereka tinggal menempati rumah di tengah hutan tersebut, namun mereka belum berjumpa dengan sang Tuan pemilik rumah, dan setiap mereka bangun pagi harinya, makanan hangat yang lezat-lezat telah tersedia di meja makan dapur.

Meraka pun sangat heran sekali, namun mereka tidak sanggup berpikir terlalu jauh, kakak beradik ini menikmati saja makanan yang tersedia dengan mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga.

Pas pada hari keempat sang kakak berkata kepada adiknya, "Adikku bagaimana kalau makanan yang biasa tersaji pada hari-hari berikutnya tidak tersaji lagi, apakah yang akan kita makan berdua?" katanya kepada sang adik.

"Bagaimana kalau kita menjual rempah-rempah yang tersedia banyak dalam karung besar itu sedikit-sedikit ke pasar," berkata lagi sang kakak.

"Baiklah kalau begitu saya sendiri yang akan berangkat ke pasar, kakak tunggu saja disini dan ingat kak, jangan sekali-kali kakak membuka pintu ketika saya pergi," sang adik berkata kepada kakaknya Tampe Ruma Sani.

"Hati-hatilah dalam perjalanan adikku dan cepat kembali bila urusan telah selesai," menjawab sang kakak dengan nasihatnya.

Sang adik pun berangkat membawa satu karung kecil rempah-rampah untuk menjualnya di pasar terdekat, sang kakak dengan segera mengunci rapat rumah dari dalam.

Hulubalang sebuah Kerajaan sangatlah heran mendapati sebuah bangunan rumah ditengah hutan rimba belantara, tatkala dia sedang berburu binatang buruan didalam hutan bersama beberapa temannya.

Rasa penasaran membuat mereka pun mendekati rumah ditengah hutan tersebut untuk melihat siapakah yang berani tinggal serta membangun rumah dihutan ini.

Dengan segera seorang Hulubalang yang terkenal berani menaiki tangga rumah lalu mengetuk pintu beberapa kali namun tidak ada jawaban dari dalam rumah setelah beberapa lama ditunggunya.

Tampe Rama Sani tidak berani membukakan pintu rumah, dia diam saja tidak menjawab panggilan para Hulubalang, dengan cepat dia pun bersembunyi di bawah meja kayu yang terdapat diruang tengah rumah, badannya gemetaran ketakutan.

Karena tidak mendapat jawaban yang berarti dari dalam rumah, beberapa Hulubalang dengan cepat memeriksa keadaan sekeliling rumah dan ketika masuk di kolong rumah dilihatnya rambut keluar dari selah lantai rumah yang terbuat dari kayu.

Dengan segera rambut tersebut ditariknya, tentu saja yang empunya berteriak kesakitan, Hulubalang segera melepaskan rambut tersebut dengan sangat terkejut tidak dikira rambut tersebut milik seorang manusia.

Dengan berbagai bujukkan Hulubalang Kerajaan meminta untuk dibukakan pintu namun sang gadis Tampe Ruma Sani tetap tidak mau membuka pintu rumah tersebut, hatinya selalu berdoa agar sang adiknya cepat datang untuk menolongnya.

Beberapa Hulubalang yang cekatan mengendali kuda dengan cepat pulang menghadap sang Raja untuk melaporkan kejadian yang sedang mereka hadapi sekarang, dan sebagian lagi menunggu didepan rumah yang berada ditengah hutan.

Raja pun dengan segera berangkat dari istana Kerajaan setelah ada laporan dari Hulubalang tersebut dengan menaiki kuda gagahnya sampailah ditempat yang ditunjukkan para Hulubalang.

Raja berdiri didepan pintu untuk membujuk orang yang ada didalam rumah, namun sang gadis tidak bergeming juga, dia tidak menjawab apalagi membukakan pintu.

"Dobrak saja!" perintah Raja dengan beramai-ramai mereka membuka paksa pintu kayu yang kokoh tersebut dan akhirnya terbuka juga pintu tersebut.

Raja pun segera masuk kedalam rumah, didapati seorang gadis cantik yang sedang ketakutan sekali, "Jangan takut aku adalah Raja yang berkuasa di Negeri ini," berkata sang Raja.

Tak lama setelah semua orang ada di dalam rumah, sang adik Mahama Laga Ligo pun datang segeralah pintu pun di ketuknya.

"Kak, kakak bukalah pintunya aku adikmu telah pulang," teriaknya lirih sekali.

Sang kakak datang membuka pintu diiringi sang Raja dan para Hulubalang, "adikku, inilah mereka Raja dan para Hulubalangnya telah sudi datang kemari," sang kakak memperkenalkan semuanya.

Meraka berdua pun akhirnya ikut ke istana Kerajaan dan sang Raja pun jatuh cinta kepada Tampe Ruma Sani yang cantik dan baik hati, dan jadilah kini sang gadis malang tersebut seorang permaisuri yang cantik dan berbudi luhur.

Mahama Laga Ligo tentu saja ikut bahagia mereka hidup di istana Kerajaan penuh dengan kebahagian yang tidak terkira.

karena kesabaran dan kepasrahan yang tulus, kebahagian pun akan segera datang menjemputmu. Sekian.

Wasalam
oleh : mamang
edit  : galih
Advertising - Baca Juga :
Apakah Manfaat Test Kepribadian?
Bloody Merry – Urban Legend Menakutkan
Share:

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Followers

Statistik

 
loading...