Courtesy of www.republika.co.id |
Dan mereka selalu membanggakan dirinya masing-masing tanpa ada yang mau mengalah, sifat sombong selalu terucap dari kata-katanya tatkala mereka saling bertengkar dan saling mencaci-maki.
"Bukalah matamu dan lihat dengan teliti betapa rimbun serta begitu tinggi diriku ini!" sang pohon delima berseru.
"Tetapi kamu pun harus melihat dengan jelas juga bahwa daun-daun yang aku punya lebih dan lebih rindang pula!" sang pohon apel balas menimpali ucapan dari sang delima.
"Cantik, elok dan indah sekali hari ini diriku, bagaikan sang ratu kecantikkan!" sang pohon delima berteriak-teriak histeris ketika bunga-bunganya bermekaran indah menghiasi dirinya.
Sang pohon apel hanya terdiam tidak bersuara apapun, kali ini dia belum berani menimpali sang tetangga yang sombong menurutnya, "nanti saatnya tiba aku akan berteriak-teriak juga menyambut datangnya bunga-bungaku yang akan mekar." Berkata dalam hati sang pohon apel.
Kini tiba gilliran pohon apel yang akan berteriak-teriak histeris menyambut datangnya sang bunga yang mulai muncul didekat pucuk dahan dan batang dahan-dahan kecil yang rindang.
"Hai mengapa semua orang melihat diriku dengan kagum! apakah diriku memang menjadi primadona dengan bunga-bunga tercantik yang menghiasi diriku saat ini?" katanya lebih sombong lagi dari apa yang dikatakan sang pohon delima.
Mana kala musim bunga berlalu kini berganti musim buah yang muncul, sang buah delima berkata. "Semua orang sedang menunggu tidak sabar untuk mencicipi buah ranumku yang manis segar sangat menggoda sekali, sang bapak petani sangat bangga kepadaku."
Dan demikian pula sang buah apel manakala berbuah dia pun berkata dengan lantangnya. "Lihat buah hijau yang besar menggoda setiap manusia yang melihatnya, bapak petani sudah tidak sabar untuk memetikku dan merasakan manis buahku yang berair dan segar sekali."
Pertengkaran-pertengkaran selalu berlangsung setiap hari apapun yang menjadi masalah selalu berujung dengan adu mulut yang tidak pernah ada yang mau mengalah sama sekali.
"Badanku yang tinggi dan rimbun!" berkata sang delima.
"Baiklah, tetapi buahmu tidak manis!" sang apel menjawab. "kamu pun boleh melihat rindangnya daunku."
"Baiklah, namun warna bungamu sangat pucat!" teriak sang deliam mulai marah.
"Stop! stop berhenti, kalian berdua seperti anak-anak kecil saja, yang selalu bertengkar gara-gara hal sepele!" sang semak belukar yang hidup ditepi kebun yang tidak jauh dari tempat itu sudah bosan mendengar pertengkaran demi pertengkaran mereka yang terjadi hampir tiap jam dan saat.
Semak belukar yang hidup dikebun itu berpenampilan jelek dan pendek, tidak pernah berbuah, tidak pernah rimbun daunnya. Semakin marah saja tatkala mendengar pertengkaran yang tidak ada ujung pangkalnya selalu terjadi antara dua pohon buah yang sombong-sombong itu.
"Namun apabila kalian berdua masih saja bertengkar silahkan saja tetapi jangan disini, aku sudah muak dengan kalian. hargailah aku sebagai tetanggamu."
Sang pohon delima dan sang pohon apel terdiam malu mendengar sang tetangga yang marah dan ngomel-ngomel kepadanya, mereka berdua malu atas kelakuan mereka selama ini.
Sang pohon delima dan sang pohon apel yang bertengkar tetapi sang semak belukar juga merasakan sakit hatinya.
Tidak hanya yang bersangkutan saja yang saling baku hantam yang saling menyakiti namun secara tidak sadar, lebih banyak pula orang yang merasakan sakit hatinya. Sekian.
Wasalam.
oleh : mamang
edit : galih
Advertising - Baca Juga :
- Piknik Keluarga, Permainan Apa Ya?
- Penampakan Almarhum Saudaraku
0 comments:
Post a Comment